Perihal Ide Kontroversial Itu

Boleh jadi saat ini kita sangat jengah dan jengkel melihat virus korupsi dan kolusi telah merasuk di setiap lini kehidupan. Praktik-praktik koruptif akibat kebobrokan struktural negara telah beroperasi hingga wilayah mikrokultural dan berjangkit meresap dalam budaya, nalar sadar, dan mentalitas masyarakat kita.

Petugas parkir seenaknya saja menaikkan tarif, padahal jelas tertera di karcis tarifnya lebih rendah. Perambah hutan tanpa dosa melakukan illegal logging yang nyata-nyata menyebabkan banjir. Aparat negara melakukan percaloan pegawai negeri yang menyerobot hak calon abdi negara yang lebih kapabel. Oknum-oknum pejabat yang ngawur menyalurkan dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) hingga merampas hak pendidikan anak-anak miskin. Pemerintah Daerah –sebelum muncul larangan Mendagri— menganggarkan dana sangat tinggi untuk klub sepakbola lokal, dan itu sarat bernuansa politis, padahal mengakibatkan terpangkasnya anggaran pemenuhan hak-hak dasar warga.
Orang begitu mudahnya mengatakan, “Lha wong yang di atas (pejabat tinggi: red) rame-rame memakan uang rakyat, ya jangan salahkan kami yang di bawah kalau korupsi.” Negara ini seolah telah pengap dipenuhi para pengidap virus kleptomanis yang tamak, suka mencuri, menjarah, dan merampas hak publik tanpa merasa perbuatannya adalah dosa besar.

Dalam konteks kasus korupsi pejabat, selain persoalan adanya peluang penyelewengan di birokrasi dan lemahnya penegakan hukum, dalam hemat redaksi, ada faktor lain yang muncul dari dalam diri pelaku, yakni persoalan mental yang buruk. Para pejabat yang kini terjerat kasus korupsi adalah orang-orang yang secara ekonomi lebih makmur dibanding kelompok menengah yakni kawan-kawan kita yang sukses. Namun karena mereka merasa dirinya miskin, berkekurangan secara ekonomi, beretos kerja lemah, maka timbul lah keinginan untuk memakan harta rakyat melalui jalan-jalan pintas.

Ketika tulisan ini dibuat, jauh di sana, kekuatan militer Israel selama lebih dari tiga minggu ini terus membabi-buta menggempur Palestina di jalur Gaza. Jet-jet tempur dan roket-roket canggih Israel tak henti “menyanggongi” wilayah Palestina. Sipil-sipil tak bersalah mesti meregang nyawa (semoga dengan status syahid!). Tidak ada alasan pasti dari penyerbuan itu, namun perang Israel dan Palestina memang bak penyakit kambuhan.

Tahun 2003 silam Amerika Serikat (AS) dan sekutunya menginvasi Irak hingga berhasil menggulingkan Diktator Saddam Hussein dari kursi Presiden. Dalil penyerangan itu, Irak memproduksi senjata pemusnah masal dan senjata perusak lain yang sanggup meluluhlantakkan suatu wilayah dalam radius amat luas. Ironisnya, hingga Saddam Hussein meninggal dunia di tiang gantungan, tuduhan itu tidak terbukti. Kiranya nafsu AS menguasai jutaan kilang minyak di Irak lebih logis diterima.

Dengan dalih apapun yang melegalkannya, agresi militer adalah bentuk keserakahan dari negara yang tidak pernah merasa “cukup” akan kekayaan negerinya, hingga berkehendak mencaplok wilayah dan kekayaaan negeri lain. Kita tahu Israel adalah negara makmur dengan tingkat kesejahteraan penduduk yang cukup tinggi. AS adalah negara adidaya dengan kekayaan ekonomi melimpah. Namun mengapa masih menyerang Palestina dan Irak? Ada mentalitas rakus yang mengendap dalam diri penguasa dua negara itu.

Maket Ruang Makan Grha Aitam
Di sinilah urgensi membangun mentalitas “kaya” pada anak sejak dini. Yayasan Al Madinah dengan Grha Aitamnya –yang kini telah mencapai tahap finishing pembangunan— berniat menancapkan mentalitas “kaya” pada anak-anak yatim yang dibinanya. Obsesinya, “Lahir generasi-generasi yang berwatak ceria bukan susah, yang bermental cukup bukan kurang, suka memberi bukan menerima, bersifat qana’ah bukan tamak, berjiwa wirausaha yang tawakal bukan pemalas dan pengkhayal,” demikian terang Syarif Thayib, Ketua Yayasan Al Madinah Surabaya.

Maka anak yatim di Grha Aitam Al Madinah, kendati kondisi asli mereka berkekurangan secara ekonomi, harus merasa bahwa dirinya kaya dan cukup. Diharapkan, dengan perasaan “kaya” itu, selain akan menghindarkan anak dari tindakan-tindakan negatif, juga akan mendorongnya untuk membantu kaum lemah. Dan dalam jangka panjang, lahirlah pemimpin-pemimpin bangsa yang bebas dari kasus korupsi dan semacamnya.

Langkah awal untuk mewujudkan cita-cita tersebut Al Madinah menyiapkan gedung mewah berlantai tiga di Jl. Bratang Binangun IX / 25-27 Surabaya sebagai istana anak yatim. Di tempat ini anak-anak akan menikmati fasilitas yang cukup bagus, setidaknya dibandingkan dengan kebanyakan panti asuhan yang ada di Indonesia. Ada ranjang bertingkat dengan kasur yang empuk, pola makan yang bergizi, dan pola pengajaran berbasis TI (teknologi informasi).

Gagasan Al Madinah yang hendak memberikan kemewahan fasilitas kepada anak-anak yatim itu menuai kontroversi. Ratna Eliyawati, M.Si, pakar psikologi klinis dari Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Surabaya menyebut program ini sebagai upaya mencerabut anak-anak dari akar sosialnya.

Namun pandangan berbeda dikemukakan oleh Prof. Dr. Jatie K. Pudjibudojo, S.U. Psi, Guru Besar psikologi perkembangan Universitas Surabaya (Ubaya). Ia terlihat sangat respek dengan ide Al Madinah itu. Ditemui di kampusnya pada Selasa 06/01/2009, ia menyarankan agar disiapkan pula program-program untuk mengantisipasi munculnya sindrom manja dan sombong pada anak saat purna asuh nanti. Baginya, karena Grha Aitam sudah diformat eksklusif maka jangan tanggung-tanggung. “Saya sangat berharap, Panti ini bisa mendidik bibit-bibit unggul yang kurang beruntung secara ekonomi,” tandas Jatie.

Josephine M.J. Ratna, M. Psych, Dosen psikologi Universitas Katolik (Unika) Widya Mandala, juga berpendapat nyaris senada dengan Prof. Jatie. Ia menghargai niat baik Al Madinah. Tetapi ia mengingatkan bahwa setiap anak memiliki latar belakang sosial yang variatif, dan itu sangat mempengaruhinya dalam menerima atau mempersepsikan sesuatu. “Maka harus hati-hati karena bisa saja opini dari dalam diri mereka bahwa yang namanya hidup seperti itu (nikmat dan mudah: red),” tukasnya.

Berbeda dengan ketiganya, Nur Hidayat M.M, Sekretaris Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Al-Hikmah Surabaya menganggap fasilitas yang dipersiapkan untuk anak-anak yatim di Grha Aitam sebagai hal biasa, tidak istimewa, dan masih dalam batasan standar. Ia berargumen, “Kalau dibandingkan dengan panti-panti konvensional mungkin berbeda, tapi kan itu sebenarnya standar pendidikan modern. Semua panti juga inginnya begitu, tapi mungkin karena tidak mampu saja.”

Sementara itu praktisi pemberdayaan anak yatim, Abdul Kholiq, kurang setuju dengan kemewahan fasilitas di Al Madinah. Pasalnya, ia berpandangan bahwa anak yatim harus dibiasakan melayani keperluannya sendiri. Terutama kebutuhan-kebutuhan yang bisa dipenuhi sendiri. Karena mengajari hidup harus dengan keteladanan dan praktik.

Lantas seperti apa program yang dipersiapkan Al Madinah untuk menanggulangi munculnya watak manja dan sombong pada anak yatim? Al Madinah, seperti dituturkan Syarif, merancang program Business Day and Enterpreunership for Kids. Pada hari tertentu anak-anak kecil akan dilatih berjualan di lingkup asrama dengan konsumen kalangan penghuni Grha Aitam sendiri. Dua puluh persen dari keuntungan “jualan” itu akan didermakan kepada kaum dhuafa melalui program Wisata Empati.

Dengan program tersebut Al Madinah hendak mendidik anak-anak untuk beretos kerja tinggi demi menggapai hasil optimal dan belajar berdikari. Selain itu, anak juga diajari untuk mempraktikan konsep ikhlas dalam menerima rezeki Allah dan rela mendermakan sebagian hasilnya kepada orang lain.

Sebagian orang mungkin memahami ajaran Zuhud dalam tasawuf sebagai doktrin yang membenci harta benda dan segala kenikmatan duniawi, sehingga lebih menyukai hidup miskin dan nriman. Padahal Zainuddin al-Malibary dalam kifayat al-atqiya’-nya sudah menegaskan bahwa “Zuhud bukan berarti hidup tanpa harta benda, melainkan hilangnya perasaan ketergantungan hati terhadapnya.” Etos Zuhud inilah yang ingin dibangun dan diimplementasikan Al Madinah.

Namun pengurus Al Madinah menyadari rancangan-rancangan programnya tidaklah paripurna, karenanya terbuka atas segala kritik konstruktif. “Maka kontroversi pun bagi kami adalah kewajaran,” ungkap Syarif, alumnus Jurusan Pengembangan Sumber Daya Manusia Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga.
(Syafiq)

Comments :

0 komentar to “Perihal Ide Kontroversial Itu”

Posting Komentar