Karamah, Istiqamah: Sebuah Visi Misi

Oleh: Syarif Thayib
(Ketua Yayasan Al Madinah)



Karamah, atau dalam bahasa Indonesia keramat, adalah kelebihan yang dimiliki oleh hamba-hamba pilihan, kekasih Allah Swt. Karamah kerap diidentikkan dengan hal-hal yang tidak masuk nalar. Tetapi karamah adalah nyata seperti halnya mukjizat para Nabi. Bedanya, mukjizat disertai dengan pengakuan kenabian, sedangkan pada karamah tidak perlu. Karamah adalah anugerah dari Allah kepada hamba yang Ia cintai sebagai buah dari istiqamah (konsistensi/ketekunan).

Samsul Munir Amin (2008) menyebut beberapa hamba pilihan yang memiliki karamah. KH. Ma’shum di antaranya. Beliau pengasuh pondok pesantren al Hidayah Lasem Rembang (1870-1972 M) yang bisa mengetahui kapan KH. Baidlowi, pamannya, dan dirinya akan berpulang ke rahmatullah setelah istiqamah menjalankan shalat malam. Baginya, meninggalkan shalat malam berarti tertinggal untuk berkomunikasi dengan Allah.

Kemudian KH. Romli (1888-1958 M), ayah dari KH. Musta’in Romli, pengasuh pesantren Peterongan Jombang. Hanya dengan membacakan asmaul husna yang ditiupkannya ke dalam air putih sebelum diminumkan ke tentara Hizbullah dan Sabilillah, mampu menumbuhkan semangat dan kesaktian hingga menebus kemerdekaan. Karamah ini didapat setelah beliau selalu bertafakur, berzikir, dan menjadikan malam-malamnya bagaikan proses “percintaan” dan “kemesraan” dengan Yang Maha Agung, Allah Swt.

KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari 1926 dan aktor intelektual “resolusi jihad” pada masa perang mepertahankan kedaulatan Republik bersama arek-arek Surabaya, dikenal memiliki karamah. Saat mengajar beliau bisa melemparkan tongkatnya dengan tetap konsentrasi membaca kitab. Tongkat itu pun mengenai beberapa santrinya. Usut punya usut ternyata santri tersebut belum menunaikan shalat padahal waktu shalat hampir habis. Karamah ini diraih setelah beliau mendirikan Pesantren Tebuireng dan konsisten di jalan dakwah.

Masih banyak lagi contoh karamah dari para kekasih Allah yang tentu diperoleh karena ke-istiqamah-an mereka mendekatkan diri kepada Allah SWT. KH. Abbas dari Buntet Cirebon bisa menaburkan pasir dan kerikil menjadi peluru dan senjata untuk mengusir penjajah pada peperangan November di Surabaya. KH. Fuad Hasyim bisa menghilangkan luka lebam bekas pukulan preman dengan wudhu usai berdakwah di “daerah hitam” Jawa Barat. KH. Rukhiyat dari Tasikmalaya tidak bisa digotong walaupun beramai-ramai oleh pasukan DI/TII yang memaksanya memberontak NKRI.

Sedangkan ulama yang -insya Allah— memiliki karamah dan bisa disowani saat ini juga adalah KH. Ahmad Thobib dari Surabaya. Karena konsistensinya dalam mendidik calon penghafal al-Quran dan menjalankan shalat malam, Allah SWT memberi kelebihan kepada Kyai Thobib; mampu mendiagnosa dan menyembuhkan beberapa penyakit berat melalui pijatan ringan pada jari manis kaki kanan pasien.

Keberadaan karamah tidak bisa terbantahkan baik secara rasional seperti fungsi listrik, telepon, dan handphone, maupun irasional sebagaimana kisah Maryam dan makanan dari surga (Q.s. 3:37), kisah Ashabul Kahfi (Q.s. 18:17), dan kisah Ashif, salah seorang pembantu Nabi Sulaiman, yang bisa memindahkan singgasana Ratu Bilqis ke istana Sulaiman dengan jarak yang sangat jauh dalam waktu sekejap (Q.s. 28:40).

Lantas pertanyaannya, apa hubungan antara karamah, istiqamah dengan visi, misi? Jawabannya ada pada pendapat Peter F. Drucker tentang visi dan misi. Bapak manajemen dunia ini menjelaskan maksud visi dan misi dengan sangat lugas, yaitu visi adalah jawaban untuk pertanyaan “what do you want to be?” anda ingin jadi seperti apa? Sementara misi adalah jawaban untuk pertanyaan “what do you want to do?” (kemudian) apa yang ingin anda kerjakan?

Pendapat inilah yang memberi inspirasi Yayasan Al Madinah (selanjutnya disingkat YADn) dalam merumuskan visi misi lembaga. Visi misi ini beberapa waktu lalu didiskusikan dengan KH. Muchit Muzadi (Mustasyar PBNU), KH. Sulthon A. Hadi (Tambak Beras Jombang), H. Nur Hidayat, M.M (Sekretaris YLPI Al Hikmah Surabaya), Mr. Kalend (BEC Pare-Kediri), dan lain-lain dalam kegiatan rutin YADn yaitu ngangsu kaweruh atau mencari masukan.

Visi YADn adalah KARAMAH yang merupakan kepanjangan dari Kekasih Allah, Rahmat untuk Alam semesta, dan taMbAH baik. Sedangkan untuk mencapai Karamah, maka YADn harus melaksanakan misinya, yaitu istiqamah dalam pemberdayaan 7 (tujuh) dimensi kehidupan manusia; spiritual, emosional, intelektual, fisik, finansial, sosial, dan estetika.

Sengaja KARAMAH diberi kepanjangan, karena, pertama, YADn mengharapkan segenap pengurus, dewan guru, pegawai, anak yatim, keluarga, dan semua pihak yang mendukung YADn, bisa menjadi kekasih Allah. Selanjutnya, apa yang menjadi kebutuhan yayasan maupun impian yang seolah tidak mungkin, akan dimudahkan Allah. Nothing impossible bagi-Nya. Sesuatu yang mustahil, dengan izin-Nya tentu menjadi mungkin seperti kisah karamah ulama besar di atas.

Kedua, YADn ingin menjadikan manusia sebagai rahmat untuk alam semesta, sebagaimana alasan Allah Swt menurunkan Muhammad Saw untuk memberi pencerahan pada semua makhluk di muka bumi ini. Dan kita sebagai orang yang berilmu (semoga begitu) adalah pewaris estafet kenabian. Khairunnasi anfa’uhum linnasi; sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat kepada sesama.

Ketiga, YADn sekali lagi akan terus berikhtiar dan tawakal untuk menjadi organisasi sosial yang semakin baik dan tambah baik agar keberuntungan menjadi kebiasaan.

Menjadi kekasih Allah, rahmat untuk sesama makhlukNya, dan selalu tambah baik adalah tujuan semua agama. Untuk itu YADn yang saat ini baru fokus pada upaya pendidikan dan pemberdayaan anak yatim di Grha Aitam berusaha istiqamah dengan program yang menitikberatkan pada pemberdayaan tujuh dimensi kehidupan di atas.

Ikhtiar YADn untuk melaksanakan misi pemberdayaan tersebut tentu akan menemui banyak kesulitan, karena tidak ada manusia yang sempurna dalam pencapaian prestasi tujuh dimensi itu. Namun setidaknya, YADn akan fokus pada upaya optimalisasi kekuatan dan memperbaiki kelemahan dengan tetap berpegang pada prinsip bahwa salah satu dimensi tidak boleh diabaikan, karena masing-masing memiliki sifat saling bergantung.

Lebih jauh tentang penerapan model pemberdayaan tujuh dimensi kehidupan manusia atau Holistic Person Empowerment System (Ahmad Faiz Zainuddin, 2007), biasa dijelaskan oleh penemu Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) dalam SEFT Coach Training, yang awal kegiatannya difasilitasi oleh YADn pada Desember 2005 lalu.

Pertanyaan berikutnya, kapan pemberdayaan itu dimulai? Sejak anak dalam “gendongan” (mahdi), fase emas pendidikan usia dini, semoga.

Comments :

0 komentar to “Karamah, Istiqamah: Sebuah Visi Misi”

Posting Komentar