Tanpa Kekerasan, Anak Jadi Penurut

“Anak-anak semua penurut. Syafiq juga. Dulu zaman orde baru dia pernah ditawari jadi anggota DPR RI dari Golkar, saya larang, ya dia nurut. Kemarin mau dicalonkan jadi Bupati, saya cegah, dia batal maju.”


(Prof. H. Syafiq A. Mughni, Ph.D)

(Bpk. A Mughni)

Itulah penuturan Hj. Syarofah (72 tahun), ibunda dari Prof. Syafiq, Ph.D. Sore itu, saya bersama tim redaksi Al Madinah bertandang ke kediamannya di Paciran. Kami ditemui oleh Syarofah, Abdul Mughni (80 tahun), dan Ifadah, adik kandung Syafiq. Nama Syafiq A. Mughni tentu sangat akrab di telinga warga persyarikatan Muhammadiyah, khususnya wilayah Jawa Timur. Posisinya sebagai ketua umum Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Jawa Timur sekaligus Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo adalah faktor utamanya.

Syarofah dan suaminya, A. Mughni, hanya berpendidikan Madrasah Ibtidaiyah (MI), sekolah tradisional yang kala itu belum mengajarkan baca tulis aksara selain Arab. Namun siapa sangka, dari kedua orang yang tidak pernah sekali pun mengenyam bangku pendidikan formal itu, lahir sosok Syafiq, Guru Besar ilmu sejarah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, yang meraih gelar MA dan Ph.D. dari University California Los Angeles (UCLA) Amerika Serikat.

Syarofah masih berstatus siswi MI saat melahirkan Syafiq di Desa Paciran, Kecamatan Paciran, Lamongan pada 15 Juni 1954. Nyaris tidak ada keunikan selama proses kehamilan dan kelahiran Syafiq. Pun ia tak berfirasat jika anak yang dikandungnya kelak menjadi tokoh populer. Bagi Syarofah, apa yang diperoleh Syafiq kini adalah takdir Allah. Tak beda dengan anak seusianya, Syafiq kecil juga nakal. “Awal kali masuk MI Muhammadiyah, Syafiq disuruh masuk sekolah malah ngumpet, lari-lari, mbeling lah,” kenang Syarofah. Tetapi itu tak berlangsung lama. Selepas MI, Syafiq dengan tekadnya yang teguh melanjutkan ke Pesantren Persis di Pasuruan. “Padahal waktu itu orang tua tidak punya apa-apa, pinjam ke sana kemari. Pakaian juga beli rombeng-rombengan,” imbuh Ifadah.

Kepasrahan terhadap Allah merupakan modal utama Syarofah-Mughni. Mughni menuturkan, “Alhamdulillah ada saja yang untuk nyangoni. Selain bertani, saya juga jualan lontong gule kambing, itu sejak Syafiq kecil sampai sekarang. Itu yang buat nyangoni anak-anak.”

Mughni dan Syarofah menikah pada tahun 1950, saat Syarofah berumur lima belas tahun dan Mughni dua puluh lima. Mereka dikaruniai lima anak, dan Syafiq adalah sulungnya. Anak kedua dan ketiganya berprofesi sebagai guru. Sementara yang keempat bekerja sebagai dokter, dan yang kelima masih menempuh jenjang sarjana di salah satu sekolah teknologi swasta di Yogyakarta.

Jalur pendidikan anak-anak Mughni terbilang variatif. Ia dan istri memberikan ruang lebar bagi “buah-buah cintanya” untuk memilih jurusan dan karir. Mereka tidak terlalu mengarahkan, alih-alih menekan dan menyetir. “Mau mengambil jurusan apa, terserah. Mau kerja apa, silakan. Lihat bakatnya masing-masing. Kiro-kiro api’e opo. Poko’e, sing penting sekolahe dituntasne (kira-kira baiknya apa. Yang penting sekolahnya tuntas), kata Syarofah. Sebagai orang tua mereka tak henti mendoakan kesuksesan anaknya. Dua petuah yang ditekankan kepada anak-anak di mana pun mereka berkarya; jujur dan rajin ibadah.

Syarofah-Mughni ingat betul ketika Syafiq lulus dari Pesantren Persis. Mayoritas temannya melanjutkan kuliah di Arab Saudi. Syarofah menawarkan kepada sulungnya itu, “apa kamu nggak ikut kawan-kawanmu di Arab?“ Syafiq menolaknya dan lebih memilih masuk IAIN Sunan Ampel. Keduanya pun menghargai pilihan itu.

Pola asuh demokratis ini sudah mereka ajarkan sejak dini. Keduanya sama sekali tidak pernah melakukan kekerasan kepada “buah-buah cintanya”. “Ojo maneh njiwit opo njewer, nyeneni, misuhi ae gak tau. Tak pentelengi tok arek-arek wis wedi dewe (apalagi mencubit atau menjewer, memarahi saja nggak pernah. Saya tatap saja, mereka sudah segan), tegas Syarofah dan Mughni bersahutan. Kendati demikian, putra-putri mereka adalah anak-anak penurut, taat kepada orang tua, termasuk Syafiq. Karenanya, Syarofah-Mughni nyaris tidak pernah merasa dibuat jengkel oleh mereka.

(Hj. Syarofah)
Syarofah bercerita, Syafiq muda pernah diajak berdagang kelapa ke Bali oleh temannya di kampung. “Saya cegah. Sudah Fiq nggak usah. Teruskan saja sekolahmu,” ujar Syarofah. Selain itu Syafiq juga pernah ditawari untuk maju dalam pencalegan DPR RI dari Golkar. Namun tawaran itu ditentang Syarofah, “Saya tanya, terus mau tinggal di Jakarta? Jakarta itu panas, terus masyarakatmu di sini bagaimana?”
Hingga dewasa, putra-putri Syarofah-Mughni masih kerap meminta pertimbangan kepada mereka saat hendak memutuskan perkara besar, seperti melanjutkan sekolah, bekerja, dan menikah. Dan semua mengindahkan nasihat orang tua. Peristiwa mutakhir ialah ketika Syafiq dicalonkan oleh salah satu partai untuk maju dalam pemilihan Bupati Lamongan. “Jangan Fiq, nanti kalau ada tidak benarnya, emak yang malu. Ya dia ikut. Jadi anak-anak tidak lantas semaunya sendiri, pasti meminta izin orang tua,” urai Syarofah.

Keduanya mengaku tidak banyak mencurahkan perhatian kepada anak-anak lantaran kesibukannya mencari nafkah. Namun mereka memasrahkan putra-putrinya kepada ustad-ustad di musalla dan pengasuh di Pesantren. Mereka mengakui, zaman dulu, anak nakal karena kurang perhatian bisa dibiarkan lantaran belum banyak pengaruh negatif dari luar.

Syarofah-Mughni tidak memiliki doa khusus bagi “buah-buah cintanya”. “Ya setiap selesai shalat poko’e saya berdoa, rabbana hab lana min azwajina wa dzurriyyatina wa qurrata a’yun. Waj’alna lilmuttaqina imamaa (Hai Tuhan kami, berilah kepada kami suami/istri, keturunan, dan penenang mata kami. Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa), cuma itu,” seloroh Syarofah dengan terbata-bata.

Hingga kini komunikasi antara kedua orang tua itu dengan anak-anaknya masih terjalin erat. Syarofah-Mughni masih rajin menyambangi “buah-buah cintanya”, baik yang di Sidoarjo, Solo, maupun Yogyakarta. “Komunikasi terus terjaga. Apalagi sekarang ada HP. Berapa hari sekali, dua-tiga hari sekali pasti Syafiq menelepon, “piye emak waras, sehat kabeh (gimana bu sehat, semuanya baik)?” beber Syarofah.

Syarofah-Mughni, dua orang tua “tradisional”, berhasil membangun ketaatan anak tidak berdasarkan atas ketakutan, tetapi dengan cinta dan kebebasan.
(Syafiq & Wahyudi)

Comments :

0 komentar to “Tanpa Kekerasan, Anak Jadi Penurut”

Posting Komentar