Kami berangkat dari rumah Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah) di Tenggilis Timur, Surabaya, tepat pukul 07. 3O WIB. Syukur, cuaca kala itu bersahabat, tanpa mendung menggelayuti langit. Terdiri dari Syarif Thayib, Fathul Hudi (Staf Yayasan), Helmi Jauhari (Wakil Sekretaris Yayasan), dan Syafiq (Redaktur Majalah ini), Jumat, 19 Desember 2008 kami berencana ngangsu kaweruh (menimba ilmu) di BEC (Basic English Course), salah satu lembaga pendidikan bahasa Inggris tertua di Pare, Kediri yang menerapkan slogan talking english area untuk mewajibkan peserta didiknya berbahasa Inggris di kawasan BEC.
Kami meluncur menuju Pare, kota kecil di wilayah Kediri yang terkenal sebagai pusat kursus bahasa Inggris, Alhamdulillah perjalanan lancar tanpa aral melintang. Tiba di Pare tepat pukul 10.50 WIB, kami langsung coba menjumpai Mister Kalend, direktur BEC yang juga seorang kiai di sana. Namun ternyata Mr. Kalend sedang mempersiapkan diri menunaikan tugas sebagai khatib shalat Jumat. Karenanya, kami pun mengikutinya ke masjid.
Seusai shalat Jumat, kami berempat sowan kepada Mr. Kalend di kediamannya yang berposisi tepat di tengah BEC. Niat kami ialah sharing dan meminta petuah perihal metode yang tepat untuk menciptakan dan menumbuhkan kultur berbahasa asing, terutama bagi anak usia SMP (Sekolah Menengah Pertama). Pasalnya, BEC telah terbukti mampu menerapkan itu.
Setelah memaparkan rancangan konsep pendidikan di Grha Aitam Al Madinah yang berencana mewajibkan seluruh penghuni Grha untuk menggunakan salah satu bahasa asing yaitu Arab atau Inggris dalam percakapan sehari-hari. Syarif Thayib mengutarakan niat kami di atas.
Mr. Kalend tampak tertarik dengan penjelasan Syarif. Ia merespon positif niat baik itu, namun Kalend me-wanti-wanti agar program itu tidak dijalankan secara terburu-buru dan ingin langsung jadi, melainkan secara bertahap. “Mungkin yang paling urgen untuk membangun kultur bahasa asing adalah pendidiknya harus mampu menciptakan itu. Artinya si pendidik harus memiliki kemampuan berbahasa Arab maupun Inggris yang fasih.
Namun ketika menanggapi tawaran Syarif agar ia mengajukan salah satu siswa ataupun alumni BEC untuk mengikuti seleksi murabbi (pengasuh/pendidik), ia menolak secara halus. “Saya bingung bagaimana cara untuk mengetahui seseorang memiliki potensi untuk mengasuh dan mengayomi anak-anak kecil. Sebab bagi saya, mampu mengayomi anak itu yang pertama. Kemampuan bahasa itu nomer dua”, tegas pria kelahiran Kalimantan ini.
Kami mengakhiri acara pisowanan dengan Mr. Kalend tepat pukul 14.00. Pasca istirahat sejenak untuk mengisi perut, perjalanan ngangsu kaweruh kami lanjutkan ke Jombang, tepatnya ke Tambakberas untuk menemui KH. Sulthon Abdul Hadi. Tepat sesudah jamaah Maghrib di Masjid Bahrul Ulum, kami bertandang ke rumah kyai Sulthon, pengasuh PP. Al-Hikmah Bahrul Ulum. Apa daya, ternyata kyai Sulthon masih mengajar santri-santrinya.
Lantaran kuatnya keinginan untuk meminta doa restu dan advice, kami menunggu hingga waktu Isya, saat beliau mengakhiri pengajian. Seusai mengikuti jamaah shalat, kami langsung menemui beliau. Nyaris sama dengan saat mengawali perbincangan bersama Mr. Kalend, Syarif yang juga sedang menyelesaikan program doktoral di Unair Surabaya, mengemukakan perihal proyek yang ia rintis bersama tim Al Madinah untuk memberdayakan anak yatim tanpa eksploitasi.
Ia mengatakan bahwa selama ini ada beberapa panti asuhan yang “menjual” atau memosisikan anak yatim sebagai “komoditas” untuk menarik belas kasihan dan sumbangan dari donatur, baik dalam wujud penyebaran proposal door to door, pencarian orang tua asuh dengan memampangkan wajah-wajah anak yatim, dan semacamnya. Berpijak dari itu, Al Madinah sangat menghindari upaya-upaya eksploitatif, kendati kini Al Madinah sudah memberikan beasiswa bagi sekitar empat ratus anak yatim yang tersebar di seluruh penjuru Jawa Timur.
Kyai Sulthon menilai, apa yang dikerjakan Al Madinah bukan lagi mengawali tetapi sudah separuh jalan. “Program bagus, dana sudah ada, anak asuh sudah punya, tinggal meneruskan dan mengembangkan, yang penting harus istiqomah (kontinyu: red),” tegas Kepala Sekolah Madrasah Muallimin Muallimat (MMA) Tambakberas ini. Seperti kebanyakan kyai pada umumnya, kyai Sulthon kerap mengutip pendapat dan meminjam istilah dari ulama-ulama klasik.
Ketika Syarif mengeluhkan adanya sikap kurang senang dari satu dua tetangga karena melihat gedung megah yang sedang dibangun di pemukiman mereka, kyai Sulthon menilai wajar dan menyarankan untuk tidak terlalu mengurusi persoalan seperti itu. Baginya, kerikil-kerikil kecil pasti menghadang setiap langkah manusia. Ia menyitir perkataan Imam Syafi’i, “Akhrish ma yanfauka wa da’ kalama al nasi, fainnahu la salamata minhu (seriuslah dengan segala yang memberikan kemaslahatan kepadamu, dan cuekkan saja gunjingan orang. Karena sesungguhnya tidak seorang pun yang bisa selamat dari gunjingan itu).”
Dalam hemat kyai Sulthon adanya problem justru akan mendewasakan manusia sekaligus memicu agar lebih berhati-hati dalam melangkah. Dalam relasi sosial ada banyak tipe individu, dan semuanya harus dipahami. Ia kembali mengutip Al Ghazali yang membagi tiga tipe manusia dalam pergaulan sosial, “Ada yang seperti makanan yang selalu kita butuhkan, ada yang seperti obat yang sekali waktu kita butuhkan, namun ada juga seperti penyakit yang mengganggu. Tapi penyakit pun diperlukan untuk mengurangi arogansi sekaligus meningkatkan kewaspadaan seseorang,” urai kyai Sulthon.
Kyai asli Jepara itu menambahkan, “Yang paling penting dalam proses ini ialah istiqomah, karena itu di lingkaran internal pengurus yayasan harus ada proses saling kontrol, mengingatkan, tawashow gitu lah. Ini untuk menanggulangi adanya gangguan eksternal yang mungkin menyusup melalui orang dalam.”
Kami berpamitan dengan kyai Sulthon tepat pukul 21.30 WIB. Lepas dari Jombang, kami melaju ke Surabaya dengan kondisi fisik yang letih tetapi dengan hati dan pikiran yang jernih nan segar. Ya, kulakan kali ini membawa sekeranjang kaweruh yang layak ditularkan.
(Syafiq)
Kami meluncur menuju Pare, kota kecil di wilayah Kediri yang terkenal sebagai pusat kursus bahasa Inggris, Alhamdulillah perjalanan lancar tanpa aral melintang. Tiba di Pare tepat pukul 10.50 WIB, kami langsung coba menjumpai Mister Kalend, direktur BEC yang juga seorang kiai di sana. Namun ternyata Mr. Kalend sedang mempersiapkan diri menunaikan tugas sebagai khatib shalat Jumat. Karenanya, kami pun mengikutinya ke masjid.
Seusai shalat Jumat, kami berempat sowan kepada Mr. Kalend di kediamannya yang berposisi tepat di tengah BEC. Niat kami ialah sharing dan meminta petuah perihal metode yang tepat untuk menciptakan dan menumbuhkan kultur berbahasa asing, terutama bagi anak usia SMP (Sekolah Menengah Pertama). Pasalnya, BEC telah terbukti mampu menerapkan itu.
Setelah memaparkan rancangan konsep pendidikan di Grha Aitam Al Madinah yang berencana mewajibkan seluruh penghuni Grha untuk menggunakan salah satu bahasa asing yaitu Arab atau Inggris dalam percakapan sehari-hari. Syarif Thayib mengutarakan niat kami di atas.
Mr. Kalend tampak tertarik dengan penjelasan Syarif. Ia merespon positif niat baik itu, namun Kalend me-wanti-wanti agar program itu tidak dijalankan secara terburu-buru dan ingin langsung jadi, melainkan secara bertahap. “Mungkin yang paling urgen untuk membangun kultur bahasa asing adalah pendidiknya harus mampu menciptakan itu. Artinya si pendidik harus memiliki kemampuan berbahasa Arab maupun Inggris yang fasih.
Namun ketika menanggapi tawaran Syarif agar ia mengajukan salah satu siswa ataupun alumni BEC untuk mengikuti seleksi murabbi (pengasuh/pendidik), ia menolak secara halus. “Saya bingung bagaimana cara untuk mengetahui seseorang memiliki potensi untuk mengasuh dan mengayomi anak-anak kecil. Sebab bagi saya, mampu mengayomi anak itu yang pertama. Kemampuan bahasa itu nomer dua”, tegas pria kelahiran Kalimantan ini.
Kami mengakhiri acara pisowanan dengan Mr. Kalend tepat pukul 14.00. Pasca istirahat sejenak untuk mengisi perut, perjalanan ngangsu kaweruh kami lanjutkan ke Jombang, tepatnya ke Tambakberas untuk menemui KH. Sulthon Abdul Hadi. Tepat sesudah jamaah Maghrib di Masjid Bahrul Ulum, kami bertandang ke rumah kyai Sulthon, pengasuh PP. Al-Hikmah Bahrul Ulum. Apa daya, ternyata kyai Sulthon masih mengajar santri-santrinya.
Lantaran kuatnya keinginan untuk meminta doa restu dan advice, kami menunggu hingga waktu Isya, saat beliau mengakhiri pengajian. Seusai mengikuti jamaah shalat, kami langsung menemui beliau. Nyaris sama dengan saat mengawali perbincangan bersama Mr. Kalend, Syarif yang juga sedang menyelesaikan program doktoral di Unair Surabaya, mengemukakan perihal proyek yang ia rintis bersama tim Al Madinah untuk memberdayakan anak yatim tanpa eksploitasi.
Ia mengatakan bahwa selama ini ada beberapa panti asuhan yang “menjual” atau memosisikan anak yatim sebagai “komoditas” untuk menarik belas kasihan dan sumbangan dari donatur, baik dalam wujud penyebaran proposal door to door, pencarian orang tua asuh dengan memampangkan wajah-wajah anak yatim, dan semacamnya. Berpijak dari itu, Al Madinah sangat menghindari upaya-upaya eksploitatif, kendati kini Al Madinah sudah memberikan beasiswa bagi sekitar empat ratus anak yatim yang tersebar di seluruh penjuru Jawa Timur.
Kyai Sulthon menilai, apa yang dikerjakan Al Madinah bukan lagi mengawali tetapi sudah separuh jalan. “Program bagus, dana sudah ada, anak asuh sudah punya, tinggal meneruskan dan mengembangkan, yang penting harus istiqomah (kontinyu: red),” tegas Kepala Sekolah Madrasah Muallimin Muallimat (MMA) Tambakberas ini. Seperti kebanyakan kyai pada umumnya, kyai Sulthon kerap mengutip pendapat dan meminjam istilah dari ulama-ulama klasik.
Ketika Syarif mengeluhkan adanya sikap kurang senang dari satu dua tetangga karena melihat gedung megah yang sedang dibangun di pemukiman mereka, kyai Sulthon menilai wajar dan menyarankan untuk tidak terlalu mengurusi persoalan seperti itu. Baginya, kerikil-kerikil kecil pasti menghadang setiap langkah manusia. Ia menyitir perkataan Imam Syafi’i, “Akhrish ma yanfauka wa da’ kalama al nasi, fainnahu la salamata minhu (seriuslah dengan segala yang memberikan kemaslahatan kepadamu, dan cuekkan saja gunjingan orang. Karena sesungguhnya tidak seorang pun yang bisa selamat dari gunjingan itu).”
Dalam hemat kyai Sulthon adanya problem justru akan mendewasakan manusia sekaligus memicu agar lebih berhati-hati dalam melangkah. Dalam relasi sosial ada banyak tipe individu, dan semuanya harus dipahami. Ia kembali mengutip Al Ghazali yang membagi tiga tipe manusia dalam pergaulan sosial, “Ada yang seperti makanan yang selalu kita butuhkan, ada yang seperti obat yang sekali waktu kita butuhkan, namun ada juga seperti penyakit yang mengganggu. Tapi penyakit pun diperlukan untuk mengurangi arogansi sekaligus meningkatkan kewaspadaan seseorang,” urai kyai Sulthon.
Kyai asli Jepara itu menambahkan, “Yang paling penting dalam proses ini ialah istiqomah, karena itu di lingkaran internal pengurus yayasan harus ada proses saling kontrol, mengingatkan, tawashow gitu lah. Ini untuk menanggulangi adanya gangguan eksternal yang mungkin menyusup melalui orang dalam.”
Kami berpamitan dengan kyai Sulthon tepat pukul 21.30 WIB. Lepas dari Jombang, kami melaju ke Surabaya dengan kondisi fisik yang letih tetapi dengan hati dan pikiran yang jernih nan segar. Ya, kulakan kali ini membawa sekeranjang kaweruh yang layak ditularkan.
(Syafiq)
Comments :
Posting Komentar