Mengenalkan dan Mengantarkan Anak pada Zamannya

Adalah zamannya mengenalkan fasilitas-fasilitas teknologi mutakhir kepada anak sejak dini. Internet, dan semacamnya merupakan media komunikasi global yang –seolah- meringkus dunia dalam layar kecil. Segudang pengetahuan bisa digali dan diunduh dari mesin kecil itu. Kendati mustahil dipungkiri, internet atau fasilitas teknologi informasi (TI) memicu seabreg ekses negatif. Rentetan kasus pornografi dan pornoaksi serta penyebarannya menunjukkan itu. Namun bukankah sisi positif dan negatif yang melekat menunjukkan bahwa tak satu pun yang paripurna di dunia? Justru di situlah urgensi pembelajaran TI sejak dini.

Al Madinah sebagai yayasan sosial baru, menyadari betul akan hal tersebut. Karena itu dengan Grha Aitam-nya, Al Madinah berniat memerkenalkan anak-anak yatim dengan dunia maya itu. Tentu sebelumnya anak akan diajarkan mengenai penggunaan komputer secara baik dan benar. “Al Madinah menyiapkan puluhan komputer dengan spesifikasi tinggi. Sebagiannya akan dilengkapi dengan koneksi internet,” terang Syarif Thayib, Ketua Yayasan Al Madinah. Sedangkan untuk menunjang pembelajaran, ruang kelas dan aula akan dilengkapi dengan LCD proyektor dan screen.

Segala jenis perangkat teknologi mutakhir tersebut merupakan salah satu dari beberapa instrumen pendukung pengasuhan dan pendidikan. Sementara dalam hal kebutuhan dasar, Syarif menjamin bahwa anak-anak akan terpenuhi kebutuhan dasarnya sesuai standar. “Nantinya anak yatim akan diasuh di asrama dengan kebersihan yang terjaga, sanitasi yang bagus, serta pola makan yang baik dan bermutu. Selain itu rasio jumlah penghuni dengan luas kamar juga diseimbangkan. Kamar berukuran 4x6 meter hanya akan dihuni oleh enam anak. Dalam hal pengasuhan, setiap sepuluh anak akan menjadi tanggungjawab penuh dari seorang pengasuh (Murabbi),” urai Syarif yang juga Direktur SEFT Training Center ini panjang lebar.

Rencana “mengistanakan” anak yatim memantik respon beragam dari para pakar dan praktisi. Bagi Nur Hidayat, salah satu konseptor YLPI Al Hikmah, sekolah Islam unggulan di Surabaya, apa yang dilakukan Al Madinah memang sudah sewajarnya. Pasalnya, anak-anak di panti pun memerlukan fasilitas layaknya anak-anak di rumah. “Mereka butuh rumah bersih, makanan bergizi, rasio penghuni yang wajar, dan sebagainya. Jadi fasilitas wah itu nggak usah dilebih-lebihkan, itu biasa,” kata Hidayat.

Pembelajaran berbasis TI baginya pun keniscayaan. Pasalnya anak harus diantarkan pada zamannya, bukan masa pengasuhnya atau orang tuanya. “TI pada masa kini adalah keharusan bukan kemewahan. Jadi anak harus disadarkan bahwa TI adalah kendaraan masa depan untuk masuk pada era global,’ tukas alumni Magister Manajemen Unair ini.

Bila Hidayat memandang proyek Al Madinah sebagai hal biasa, Profesor Jatie, atau lebih akrab disapa Ibu Yati, ahli psikologi perkembangan, menganggap, konsep yang ditawarkan Grha Aitam sebagai hal baru. Ia tidak memersoalkan fasilitas yang cukup mewah asalkan yayasan bisa memberikan pemahaman kepada anak tentang tujuannya. “Kita beri apa, anak harus tahu tujuannya. Kalau cuma kayak sinterklas yang ngasih hadiah, ya seperti dapat lotere aja. Mereka nggak tahu alasan mereka diberi.” ujar perempuan asli Bandung ini. Menurutnya, visi misi yayasan harus tersampaikan kepada anak secara jelas. Yatie menyarankan agar seleksi masuk lebih diperketat. Agar anak merasa bangga dan melecutnya untuk lebih berprestasi.

Kritik pedas datang dari Ratna Eliyawati alumnus Jurusan Psikologi Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Ditemui di Untag pada Rabu, 07/01/09, ia melontarkan ketidaksetujuannya terhadap gagasan Al Madinah, lantaran menurutnya rentan memunculkan gejala culture shock pasca asuh. Ia memandang kemewahan yang diberikan Al Madinah memicu adanya diskrepansi (kesenjangan) antara kebiasaan yang dialami dengan kenyataan yang dihadapi. Ratna menyontohkan, “Seseorang biasa makan nasi kemudian makan daun, di situ ada kesenjangan yang bisa menyebabkan stres.”

Maket Ruang TI Grha Aitam
Dosen Psikologi Untag ini memaparkan, dalam psikologi ada tiga komponen yaitu pikiran (mind), perasaan, dan perilaku yang ketiganya bertalian erat. “Nah fasilitas mewah itu akan memengaruhi perilaku yang kemudian menjadi kebiasaan. Kalau untuk orientasi pengembangan mind, seperti instrumen pembelajaran, kewirausahaan, dan sebagainya oke lah. Namun fasilitas yang melekat itu berkaitan dengan SOS (sosial ekonomi struktur). Lantas seberapa mampu pikiran itu terdidik sehingga mampu mengatasi perilaku yang terlanjur menjadi ketidaksadaran atau mekanis itu?” kritik Ratna.
Nyaris senada dengan Ratna, Abdul Kholiq, Ketua Himpunan Muslim Penyantun Anak Yatim (Himmatun Ayat) Surabaya yang ditemui Al Madinah pada Selasa, 06/01/2009, kurang sepakat dengan konsep Grha Aitam. Ia berpandangan bahwa anak yang dididik secara berlebihan bisa jadi hasilnya kurang bagus jika tidak dibarengi dengan pendidikan agama yang kuat terutama tauhid. Ustad Kholiq, demikian sapaan akrabnya, berkaca pada fenomena anak-anak yatim di panti asuhan Malaysia. “Mereka mendapatkan fasilitas bagus, menempati kamar masing-masing, tempat tidur nyaman, bahkan diberi Hand Phone berkamera. Namun ternyata hasilnya masih kalah dengan anak-anak Indonesia,” ucap pria kelahiran Jombang yang beberapa kali menyaksikan langsung kondisi panti asuhan di Malaysia.

Sebagai praktisi, lebih jauh ia berpandangan bahwa saat ini mengajak anak yatim tinggal di asrama semakin sulit karena mereka lebih memilih tinggal bersama keluarganya. Menimpali kenyataan itu, yang terpenting menurut alumnus Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas ini adalah pembangunan pada manusia dan bukan pengembangan fisik dan fasilitasnya. Bahkan lebih baik jika anak yatim disekolahkan pada sekolah unggulan tanpa harus diasramakan.

Menjawab kritikan Ratna dan Kholiq, Syarif berargumen bahwa Al Madinah dengan program-program hariannya akan mengupayakan seoptimal mungkin agar program-program yang berorientasi pada pengembangan mind, terkondisikan menjadi behavior (perilaku). Dalam hematnya, bila sejak dini anak dikondisikan pada situasi kaya maka selamanya terbentuk mentalitas kaya. Sebagaimana mental juara, walaupun porsi latihannya biasa, karena bermental juara, biasanya mudah meraih juara. Pemain sepak bola Brazil yang berhasil menjuarai piala dunia terbanyak dan paling sering masuk final. “Jadi kalau sejak kecil anak dibiasakan kaya, maka nanti saat kaya betulan malah tidak shock,” seloroh dosen Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel ini.

Perihal pendapat Kholiq bahwa kini sudah terlalu banyak jumlah panti asuhan yang berdiri dengan product quality yang rendah, Syarif membenarkannya. “Ya benar di Surabaya saja sudah ada seratus sepuluh panti yang terdaftar di Dinas Sosial Kota Surabaya. Tetapi Al Madinah menawarkan konsep berbeda. Maka kita tidak ingin menjadi panti yang keseratus sebelas, namun menjadi panti yang pertama,” tegasnya penuh obsesi.
(Syafiq & Suud)

Comments :

0 komentar to “Mengenalkan dan Mengantarkan Anak pada Zamannya”

Posting Komentar