Oleh : Dwi Setianingsih
(Dosen STAIN Kediri)
Setiap anak dilahirkan dengan potensi beragama. Potensi ini dapat dilihat saat anak memasuki usia 3–5 tahun yang ditandai dengan pelbagai pertanyaan kritis terhadap apa yang dilihat dan didengarnya. Pertanyaan tersebut bersifat kritis tanpa disadari oleh orang tuanya. Misalnya anak bertanya siapa yang menciptakan manusia dan hewan, di mana dan siapa Allah, mengapa manusia disuruh shalat. Seringkali anak juga menirukan azan di televisi dengan gaya tangan ditempelkan pada telinga dengan bertanya, untuk apa azan?
Potensi beragama tersebut tergambar jelas dalam sabda Nabi Saw, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, kedua orang tuanya lah yang membuat mereka menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” Hadis tersebut menegaskan pula pentingnya peran orang tua untuk mengarahkan fitrah. Dengan demikian menanamkan nilai-nilai agama pada usia dini sangat berpengaruh dalam menentukan masa depan anak
Berkembangnya agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada bayi dalam kandungan, tepatnya ketika terjadi perjanjian atas manusia dengan Tuhannya, sebagaimana firman Allah dalam Q.s. Al A’raf: 172; “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya) berfirman, ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami),’ Kami menjadi saksi (Kami melakukan demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”
Menanamkan nilai-nilai agama pada anak usia dini merupakan langkah awal menumbuhkan sifat, sikap, dan perilaku keberagamaan seseorang pada masa perkembangan berikutnya. Pada masa anak, karakter dasar dibentuk baik yang bersumber dari fungsi otak, emosional, maupun religiusnya. Berkualitas atau tidaknya seseorang di masa dewasa sangat dipengaruhi oleh proses pengasuhan, bimbingan, dan pendidikan yang diterimanya pada masa kanak-kanak.
Fase usia dini merupakan masa terbaik untuk menanamkan rasa agama pada anak. Pada masa ini perkembangan kesadaran beragama masih pada tingkatan unreflektif (kurang mendalam) yang lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi/emosi dan imitatif (meniru) dari apa yang dilihat dan didengarnya. Secara spesifik kesadaran beragama pada anak usia dini ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a) Sikap keagamaannya bersifat reseptif meskipun sudah banyak bertanya. Artinya, anak akan menerima segala ajaran dan nilai-nilai agama yang diberikan oleh orang tua atau pendidiknya karena rasa ingin tahu yang mulai tumbuh. Anak akan selalu bertanya terhadap apa yang dilihat dan didengar dari perilaku dan ucapan orang-orang di sekitarnya. Penjelasan yang benar dan mudah diterima oleh anak sangat mempengaruhi pemahaman dan kesadaran beragama di kemudian hari;
b) Pandangan ke-Tuhanannya bersifat anthropormorphis (dipersonifikasikan) dan ideosyncritic (menurut hayalan). Artinya dalam memahami konsep Tuhan atau dalam menggambarkan Tuhan selalu diidentikkan dengan makhluk yang dilihatnya. Khayalan yang ada dalam pikiran anak lebih bersifat emosional. Pada masa ini anak belum bisa menerima konsep-konsep yang bersifat abstrak/tidak terlihat. Gambaran tentang Tuhan selalu dibayangkan dengan apa yang ia lihat, misalnya, Tuhan Maha Mendengar dan Melihat terhadap apa yang dilakukan manusia, maka konsep Tuhan bagi dirinya adalah Tuhan mempunyai telinga dan mata seperti manusia;
c) Penghayatan secara ruhaniyah masih superficial (belum mendalam/ikut-ikutan). Artinya dalam menjalankan perintah keagamaan sekadar partisipatif, meniru, dan ikut-ikutan tanpa didasari penghayatan ruhaniyah atau batiniyah. Sering kita lihat anak-anak mengaji dan shalat berjamaah di masjid dengan main-main, berlari-lari, atau bercanda dengan temannya. Hal ini disebabkan pada masa ini masih belum berkembang perasaan keberagamaan seperti rasa rendah hati, syukur, khusyu’, atau takut terhadap azab Allah.
Menanamkan nilai-nilai agama pada anak usia dini harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan kesadaran beragamanya. Tingkat kesadaran agama atau keimanan anak masih pada tingkat stimulus response verbalism (respon di bibir saja). Maka metode yang bisa diterapkan dalam menanamkan nilai-nilai agama pada anak usia dini yang utama adalah pengkondisian lingkungan yang mendukung terwujudnya nilai-nilai agama pada diri anak, di antaranya melalui;
Pertama, peneladanan atau suri tauladan orang tua dan orang di sekitarnya. Ini merupakan kunci utama dalam menanamkan sikap keberagamaan pada anak-anak, mengingat perilaku keagamaan yang dilakukan anak pada dasarnya adalah imitatif (meniru), baik berupa pembiasaan maupun pengajaran yang intensif. Tindakan shalat misalnya, mereka peroleh dari lingkungan yang sering mereka lihat. Anak cenderung melakukan apa yang dia lihat dan dia dengar. Selain itu peneladanan sikap saling menghormati dan menyayangi sesama juga perlu dilakukan.
Kedua, otoritas atau doktrin sesuai dengan perkembangan rasa ingin tahu yang tinggi. Maka proses pembelajaran tentang doktrin-doktrin/dasar-dasar agama sudah harus mulai ditanamkan untuk mengisi kekosongan pengetahuan agama, sekaligus sebagai benteng sebelum terisi oleh pengetahuan-pengetahuan lain yang justru akan merusak aqidah dan akhlak. Anak sudah bisa diajarkan dua kalimah syahadat, rukun iman, rukun Islam, serta belajar membaca dan menulis Al Quran. Metode cerita juga menarik bagi usia dini, baik dengan lisan maupun dengan media buku, atau CD tentang Nabi-Nabi atau tokoh-tokoh. Metode tersebut dapat dilakukan menjelang tidur atau pada waktu-waktu senggang.
Ketiga, sugesti atau hadiah dan hukuman. Anak cenderung mengulangi perkataan atau perbuatannya (dalam hal keagamaan atau ibadah) apabila mendapatkan hadiah atau pujian dari orang tua atau orang di sekitarnya. Sebaliknya anak akan tidak mengulangi perbuatan atau kata-katanya apabila dicela atau mendapat hukuman. Maka proses pembelajaran tentang sugesti surga yang penuh kenikmatan dan kasih sayang Allah bagi anak-anak yang baik, patuh pada orang tua, taat perintah Allah; dan neraka yang penuh dengan siksaan akan diperuntukkan bagi anak durhaka dan nakal, perlu diajarkan untuk menanamkan kesadaran beragama dalam proses selanjutnya.
Keempat, dorongan sosial. Ini perlu ditanamkan pada masa kanak-kanak, karena pada dasarnya implementasi agama tidak semata untuk diri sendiri tapi lebih luas adalah untuk kemaslahatan umat. Maka perlu adanya sikap menghargai pendapat anak, memberikan kebebasan berkreasi, dan memberikan waktu bersosialisasi dengan teman-temannya untuk mengembangkan nilai-nilai agama yang diperolehnya. Cara lain adalah dengan wisata dan ziarah. Dengan wisata orang tua dapat memperkenalkan alam ciptaan Allah yang Maha Indah dan Maha Sempurna. Sedangkan dengan ziarah anak dapat diperkenalkan dengan tokoh atau tempat yang bersejarah dalam perkembangan Islam.
Pengkondisian lingkungan yang mendukung terwujudnya nilai-nilai agama pada diri anak harus dimulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga. Keluarga merupakan lingkungan pertama di mana anak memperoleh segala pengetahuan dan mengenal adanya interaksi sosial (hubungan antara ayah, ibu dan anak). Rasa ketergantungan anak pada orang tua dan orang yang lebih dewasa sangat besar, sehingga peran orang tua atau orang yang lebih dewasa sangat penting dalam pendidikan agama pada usia tersebut.
Menanamkan nilai-nilai agama sedini mungkin merupakan bekal di kemudian hari untuk membentengi diri dari pengaruh yang merusak moral. Sehingga anak menjadi generasi yang berkualitas dengan bekal iman yang kuat. Amin.
(Dosen STAIN Kediri)
Setiap anak dilahirkan dengan potensi beragama. Potensi ini dapat dilihat saat anak memasuki usia 3–5 tahun yang ditandai dengan pelbagai pertanyaan kritis terhadap apa yang dilihat dan didengarnya. Pertanyaan tersebut bersifat kritis tanpa disadari oleh orang tuanya. Misalnya anak bertanya siapa yang menciptakan manusia dan hewan, di mana dan siapa Allah, mengapa manusia disuruh shalat. Seringkali anak juga menirukan azan di televisi dengan gaya tangan ditempelkan pada telinga dengan bertanya, untuk apa azan?
Potensi beragama tersebut tergambar jelas dalam sabda Nabi Saw, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, kedua orang tuanya lah yang membuat mereka menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” Hadis tersebut menegaskan pula pentingnya peran orang tua untuk mengarahkan fitrah. Dengan demikian menanamkan nilai-nilai agama pada usia dini sangat berpengaruh dalam menentukan masa depan anak
Berkembangnya agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada bayi dalam kandungan, tepatnya ketika terjadi perjanjian atas manusia dengan Tuhannya, sebagaimana firman Allah dalam Q.s. Al A’raf: 172; “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya) berfirman, ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami),’ Kami menjadi saksi (Kami melakukan demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”
Menanamkan nilai-nilai agama pada anak usia dini merupakan langkah awal menumbuhkan sifat, sikap, dan perilaku keberagamaan seseorang pada masa perkembangan berikutnya. Pada masa anak, karakter dasar dibentuk baik yang bersumber dari fungsi otak, emosional, maupun religiusnya. Berkualitas atau tidaknya seseorang di masa dewasa sangat dipengaruhi oleh proses pengasuhan, bimbingan, dan pendidikan yang diterimanya pada masa kanak-kanak.
Fase usia dini merupakan masa terbaik untuk menanamkan rasa agama pada anak. Pada masa ini perkembangan kesadaran beragama masih pada tingkatan unreflektif (kurang mendalam) yang lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi/emosi dan imitatif (meniru) dari apa yang dilihat dan didengarnya. Secara spesifik kesadaran beragama pada anak usia dini ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a) Sikap keagamaannya bersifat reseptif meskipun sudah banyak bertanya. Artinya, anak akan menerima segala ajaran dan nilai-nilai agama yang diberikan oleh orang tua atau pendidiknya karena rasa ingin tahu yang mulai tumbuh. Anak akan selalu bertanya terhadap apa yang dilihat dan didengar dari perilaku dan ucapan orang-orang di sekitarnya. Penjelasan yang benar dan mudah diterima oleh anak sangat mempengaruhi pemahaman dan kesadaran beragama di kemudian hari;
b) Pandangan ke-Tuhanannya bersifat anthropormorphis (dipersonifikasikan) dan ideosyncritic (menurut hayalan). Artinya dalam memahami konsep Tuhan atau dalam menggambarkan Tuhan selalu diidentikkan dengan makhluk yang dilihatnya. Khayalan yang ada dalam pikiran anak lebih bersifat emosional. Pada masa ini anak belum bisa menerima konsep-konsep yang bersifat abstrak/tidak terlihat. Gambaran tentang Tuhan selalu dibayangkan dengan apa yang ia lihat, misalnya, Tuhan Maha Mendengar dan Melihat terhadap apa yang dilakukan manusia, maka konsep Tuhan bagi dirinya adalah Tuhan mempunyai telinga dan mata seperti manusia;
c) Penghayatan secara ruhaniyah masih superficial (belum mendalam/ikut-ikutan). Artinya dalam menjalankan perintah keagamaan sekadar partisipatif, meniru, dan ikut-ikutan tanpa didasari penghayatan ruhaniyah atau batiniyah. Sering kita lihat anak-anak mengaji dan shalat berjamaah di masjid dengan main-main, berlari-lari, atau bercanda dengan temannya. Hal ini disebabkan pada masa ini masih belum berkembang perasaan keberagamaan seperti rasa rendah hati, syukur, khusyu’, atau takut terhadap azab Allah.
Menanamkan nilai-nilai agama pada anak usia dini harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan kesadaran beragamanya. Tingkat kesadaran agama atau keimanan anak masih pada tingkat stimulus response verbalism (respon di bibir saja). Maka metode yang bisa diterapkan dalam menanamkan nilai-nilai agama pada anak usia dini yang utama adalah pengkondisian lingkungan yang mendukung terwujudnya nilai-nilai agama pada diri anak, di antaranya melalui;
Pertama, peneladanan atau suri tauladan orang tua dan orang di sekitarnya. Ini merupakan kunci utama dalam menanamkan sikap keberagamaan pada anak-anak, mengingat perilaku keagamaan yang dilakukan anak pada dasarnya adalah imitatif (meniru), baik berupa pembiasaan maupun pengajaran yang intensif. Tindakan shalat misalnya, mereka peroleh dari lingkungan yang sering mereka lihat. Anak cenderung melakukan apa yang dia lihat dan dia dengar. Selain itu peneladanan sikap saling menghormati dan menyayangi sesama juga perlu dilakukan.
Kedua, otoritas atau doktrin sesuai dengan perkembangan rasa ingin tahu yang tinggi. Maka proses pembelajaran tentang doktrin-doktrin/dasar-dasar agama sudah harus mulai ditanamkan untuk mengisi kekosongan pengetahuan agama, sekaligus sebagai benteng sebelum terisi oleh pengetahuan-pengetahuan lain yang justru akan merusak aqidah dan akhlak. Anak sudah bisa diajarkan dua kalimah syahadat, rukun iman, rukun Islam, serta belajar membaca dan menulis Al Quran. Metode cerita juga menarik bagi usia dini, baik dengan lisan maupun dengan media buku, atau CD tentang Nabi-Nabi atau tokoh-tokoh. Metode tersebut dapat dilakukan menjelang tidur atau pada waktu-waktu senggang.
Ketiga, sugesti atau hadiah dan hukuman. Anak cenderung mengulangi perkataan atau perbuatannya (dalam hal keagamaan atau ibadah) apabila mendapatkan hadiah atau pujian dari orang tua atau orang di sekitarnya. Sebaliknya anak akan tidak mengulangi perbuatan atau kata-katanya apabila dicela atau mendapat hukuman. Maka proses pembelajaran tentang sugesti surga yang penuh kenikmatan dan kasih sayang Allah bagi anak-anak yang baik, patuh pada orang tua, taat perintah Allah; dan neraka yang penuh dengan siksaan akan diperuntukkan bagi anak durhaka dan nakal, perlu diajarkan untuk menanamkan kesadaran beragama dalam proses selanjutnya.
Keempat, dorongan sosial. Ini perlu ditanamkan pada masa kanak-kanak, karena pada dasarnya implementasi agama tidak semata untuk diri sendiri tapi lebih luas adalah untuk kemaslahatan umat. Maka perlu adanya sikap menghargai pendapat anak, memberikan kebebasan berkreasi, dan memberikan waktu bersosialisasi dengan teman-temannya untuk mengembangkan nilai-nilai agama yang diperolehnya. Cara lain adalah dengan wisata dan ziarah. Dengan wisata orang tua dapat memperkenalkan alam ciptaan Allah yang Maha Indah dan Maha Sempurna. Sedangkan dengan ziarah anak dapat diperkenalkan dengan tokoh atau tempat yang bersejarah dalam perkembangan Islam.
Pengkondisian lingkungan yang mendukung terwujudnya nilai-nilai agama pada diri anak harus dimulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga. Keluarga merupakan lingkungan pertama di mana anak memperoleh segala pengetahuan dan mengenal adanya interaksi sosial (hubungan antara ayah, ibu dan anak). Rasa ketergantungan anak pada orang tua dan orang yang lebih dewasa sangat besar, sehingga peran orang tua atau orang yang lebih dewasa sangat penting dalam pendidikan agama pada usia tersebut.
Menanamkan nilai-nilai agama sedini mungkin merupakan bekal di kemudian hari untuk membentengi diri dari pengaruh yang merusak moral. Sehingga anak menjadi generasi yang berkualitas dengan bekal iman yang kuat. Amin.
Comments :
Posting Komentar