Oleh: Siti Raudhatul Jannah
(Mahasiswi Ilmu Komunikasi Program Pascasarajana Unair)
Pernahkah Anda berkeinginan untuk menjadikan putra-putri Anda kaya, kelak di kehidupan dewasanya? Bila jawabannya ya, maka sejak kini Anda harus melatih mentalnya. Apakah kaya atau miskin bisa dibentuk? Bukankah itu kodrat atau takdir Allah?
Jawabnya ya dan tidak. Benar bahwa Allah telah mengatur kehidupan manusia sejak zaman azali, tetapi Allah juga memberikan ruang kepada manusia untuk menentukan nasibnya. Mau bersungguh-sungguh berusaha untuk menggapai cita-citanya atau sekadarnya saja? Bukankah Allah takkan mengubah nasib suatu kaum tanpa usaha dari kaum itu sendiri (Q.s. Al ra’du: 11). Di ayat lain Allah menegaskan, tidak akan membebani seseorang di luar kemampuannya (Q.s. Al Baqarah: 285).
Kembali pada jawaban Anda di atas. Seseorang tak mungkin kaya manakala mentalnya tidak kaya. Karenanya, mempersiapkan mental si kecil sejak dini perlu dilakukan. Ada beberapa prinsip yang bisa diterapkan, mudah, saking mudahnya hingga kita sering mengangapnya enteng.
Salah satu modal yang paling prinsip untuk bermental kaya adalah suka memberi, tidak suka meminta sesuatu yang bukan haknya. Bagaimana cara menerapkannya di lapangan? Ajaklah putra-putri Anda “menyambangi” kawasan atau rumah atau orang yang lebih miskin dari Anda, minimal menurut ukuran subyektif Anda.
Dengan melihat, merasakan, dan membuktikan keberadaan orang yang lebih miskin, si anak akan dihadapkan pada sikap empati. Mau tidak mau, anak akan membandingkan keadaannya dengan keadaan si miskin. Dari hasil perbandingan tersebut, anak akan merasakan perbedaannya, enak di dia, tidak enak di mereka. Selanjutnya, anak akan merasakan empati, rasa kasihan kepada si miskin, atau bisa juga justru rasa jerih, takut jatuh miskin.
Tidak masalah. Kedua rasa yang mungkin timbul itu sama-sama baik jika dikelola dengan tepat. Bila anak empati, maka akan timbul semangat untuk membantu si papa, mengentaskan mereka dari kemiskinan. Keinginan ini sangat bagus untuk kesehatan mental anak, di mana dia akan bertumbuh dengan mental baja, berusaha meperoleh sesuatu untuk bisa membantu si miskin.
Semangat tersebut jangan disia-siakan, segera tanya kepada si kecil, apa langkah dia agar dapat membantu si miskin. Pelajari jawabannya. Bila tak ada jawaban, beri dia langkah konkret dengan menabung. Tabungan ini bisa berasal dari uang sakunya setiap hari, atau dengan cara lain. Misalnya mengajarinya bisnis kecil-kecilan, berjualan kue, atau permen (tentu modalnya dari Anda) kepada teman bermain atau teman sekolahnya. Hasil berjualan ditabung atau langsung diberikan kepada si miskin.
Nah, Anda telah mengajari putra-putri Anda banyak hal, mengajarinya berempati demi kecerdasan intelektual dan kecerdasan sosialnya, di saat yang sama Anda telah mengajarinya manajemen usaha, cara berbisnis. Hebat bukan?
Masih dengan cara ini, secara tidak langsung putra-putri Anda telah belajar berinteraksi sosial, di mana menurut ahli teori interaksionisme simbolik, Erving Goffman, interaksi sosial merupakan pintu gerbang bagi daya survival seseorang. Kian lihai dia dalam berinteraksi sosial, kian pintar pula dia menempatkan posisinya di tengah sebuah komunitas. Tentu ini akan mendukung daya survival-nya, daya bertahan, yang menurut penemu teori evolusi, Charles Darwin, hanya orang-orang yang survive sajalah yang bisa hidup dengan nyaman di dunia ini.
Dari belajar menawarkan jualan kepada teman itulah, putra-putri Anda juga mendapat pengalaman bagaimana cara menjadi “pemenang”, yakni bila jualannya laku. Tentu dia harus belajar meyakinkan orang lain, dalam hal ini teman-temannya, agar mau membeli produknya. Bahkan cara ini bisa dimodifikasi dengan mengajak teman-teman si kecil untuk memberikan donasi, atau bahkan penjualan berantai dengan tujuan donasi. Hebat bukan? Wah, putra-putri Anda bahkan belajar mempengaruhi pendapat dan tindakan orang lain demi tujuan mulia.
Dari interaksi sosial ini pula, si anak akan belajar mengenai dirinya sendiri. Siapakah dia sebenarnya, sekuat apakah dia, apa saja kelemahannya, serta di lingkungan mana sajakah dia dapat diterima atau ditolak? Dengan mengenal diri, rasa percaya diri putra-putri Anda akan tumbuh, di mana faktor percaya diri ini pulalah yang menentukan sukses tidaknya seseorang dalam kehidupannya, demikian menurut Herbert Mead dan Blummer, pengungkap teori Interaksionisme Simbolik asal Amerika.
Nah, pelajaran ini masih terus berlanjut. Ketika empati si anak sudah tumbuh, anak takkan sayang mendermakan hasil kerja kerasnya demi kebahagiaan si miskin. Bawalah putra-putri Anda mengantarkan hasil karyanya kepada si miskin, menyerahkannya dengan tangan mungilnya sendiri, Anda hanya pendamping baginya di saat itu.
Bila perlu, suruhlah dia bercerita kepada si penerima bantuan, bahwa hadiah tersebut didapat dari hasil “perjuangannya” berjualan, atau bahkan ditambah dengan donasi dari berbagai pihak. Siapa tahu cerita si kecil justru menggugah kesadaran si miskin untuk lebih keras berusaha agar segera terlepas dari belenggu kemiskinannya, menyentuh bukan?
Lalu bagaimana bila si kecil justru tidak bersimpati, apalagi berempati kepada si miskin? Sebaliknya, malah timbul rasa takut menjadi miskin, takut menderita seperti si miskin dan kegamangan serupa lainnya? Jangan khawatir. Narasi atau penjelasan Anda tentang apa yang telah dia saksikan, dapat mengarahkan pemikiran si kecil kepada tujuan Anda. Kalaupun sulit mengubahnya menjadi empati, maka arahkan rasa takut miskin itu menjadi semangat yang melecutnya menjadi perkasa.
Dengan ketakutannya menjadi miskin seperti si miskin, gugah kemampuan survival-nya untuk berjuang menjadi lebih baik. Misalnya dengan belajar lebih keras agar menjadi pintar, disiplin lebih baik agar tak ada waktu yang terbuang, menambah keterampilan dirinya (bisa berdasar hobinya) agar memiliki keahlian, dan sebagainya. Dengan demikian, rasa percaya diri terhadap kemampuannya untuk dapat bertahan di dunia yang keras ini akan timbul.
Lalu, bagaimana peran ajaran agama dalam hal menumbuhkan mental kaya sejak dini? Jelas, Islam telah mengajarkan banyak hal tentang pentingnya berusaha sekeras mungkin untuk sukses di dunia dan akhirat sekaligus. Guna kepentingan hidup di dunia, manusia diajarkan untuk berbisnis jasa atau benda, tentu dengan standar baku yakni keadilan, kejujuran, dan kerja keras.
Rasulullah Muhammad Saw telah menyontohkannya kepada kita. Sejak kecil dia sudah belajar berdagang dengan mengikuti pamannya ke negeri yang jauh dari tempatnya lahir dan dibesarkan. Tak heran, begitu remaja, beliau dipercaya memimpin sebuah korporasi besar, kafilah dagang ternama milik Khadijah Binti Khuwailid, wanita yang kemudian dipersuntingnya.
Tak lama sesudahnya, Rasulullah bahkan menanggung (mengadopsi) sepupunya, Ali Bin Abi Thalib, untuk dididik dan dibiayai dari tangan beliau. Sejarah ini menginspirasi kita bahwa memberi beban tertentu kepada anak untuk “menghidupi” orang lain, akan membuatnya memiliki tanggungjawab yang lebih besar. Dalam konteks saat ini, membiasakan putra-putri Anda untuk berdonasi secara reguler di lembaga tertentu, dapat membentuknya memiliki jiwa bertanggungjawab.
Faktor tanggungjawab merupakan penyokong terpenting timbulnya rasa percaya diri, kemauan berusaha keras, kejujuran, keadilan, dan kepiawaian bertransaksi. Bukankah hal ini pula yang menjadi dasar terbentuknya pribadi yang sukses, pribadi yang bermental kaya?
(Mahasiswi Ilmu Komunikasi Program Pascasarajana Unair)
Pernahkah Anda berkeinginan untuk menjadikan putra-putri Anda kaya, kelak di kehidupan dewasanya? Bila jawabannya ya, maka sejak kini Anda harus melatih mentalnya. Apakah kaya atau miskin bisa dibentuk? Bukankah itu kodrat atau takdir Allah?
Jawabnya ya dan tidak. Benar bahwa Allah telah mengatur kehidupan manusia sejak zaman azali, tetapi Allah juga memberikan ruang kepada manusia untuk menentukan nasibnya. Mau bersungguh-sungguh berusaha untuk menggapai cita-citanya atau sekadarnya saja? Bukankah Allah takkan mengubah nasib suatu kaum tanpa usaha dari kaum itu sendiri (Q.s. Al ra’du: 11). Di ayat lain Allah menegaskan, tidak akan membebani seseorang di luar kemampuannya (Q.s. Al Baqarah: 285).
Kembali pada jawaban Anda di atas. Seseorang tak mungkin kaya manakala mentalnya tidak kaya. Karenanya, mempersiapkan mental si kecil sejak dini perlu dilakukan. Ada beberapa prinsip yang bisa diterapkan, mudah, saking mudahnya hingga kita sering mengangapnya enteng.
Salah satu modal yang paling prinsip untuk bermental kaya adalah suka memberi, tidak suka meminta sesuatu yang bukan haknya. Bagaimana cara menerapkannya di lapangan? Ajaklah putra-putri Anda “menyambangi” kawasan atau rumah atau orang yang lebih miskin dari Anda, minimal menurut ukuran subyektif Anda.
Dengan melihat, merasakan, dan membuktikan keberadaan orang yang lebih miskin, si anak akan dihadapkan pada sikap empati. Mau tidak mau, anak akan membandingkan keadaannya dengan keadaan si miskin. Dari hasil perbandingan tersebut, anak akan merasakan perbedaannya, enak di dia, tidak enak di mereka. Selanjutnya, anak akan merasakan empati, rasa kasihan kepada si miskin, atau bisa juga justru rasa jerih, takut jatuh miskin.
Tidak masalah. Kedua rasa yang mungkin timbul itu sama-sama baik jika dikelola dengan tepat. Bila anak empati, maka akan timbul semangat untuk membantu si papa, mengentaskan mereka dari kemiskinan. Keinginan ini sangat bagus untuk kesehatan mental anak, di mana dia akan bertumbuh dengan mental baja, berusaha meperoleh sesuatu untuk bisa membantu si miskin.
Semangat tersebut jangan disia-siakan, segera tanya kepada si kecil, apa langkah dia agar dapat membantu si miskin. Pelajari jawabannya. Bila tak ada jawaban, beri dia langkah konkret dengan menabung. Tabungan ini bisa berasal dari uang sakunya setiap hari, atau dengan cara lain. Misalnya mengajarinya bisnis kecil-kecilan, berjualan kue, atau permen (tentu modalnya dari Anda) kepada teman bermain atau teman sekolahnya. Hasil berjualan ditabung atau langsung diberikan kepada si miskin.
Nah, Anda telah mengajari putra-putri Anda banyak hal, mengajarinya berempati demi kecerdasan intelektual dan kecerdasan sosialnya, di saat yang sama Anda telah mengajarinya manajemen usaha, cara berbisnis. Hebat bukan?
Masih dengan cara ini, secara tidak langsung putra-putri Anda telah belajar berinteraksi sosial, di mana menurut ahli teori interaksionisme simbolik, Erving Goffman, interaksi sosial merupakan pintu gerbang bagi daya survival seseorang. Kian lihai dia dalam berinteraksi sosial, kian pintar pula dia menempatkan posisinya di tengah sebuah komunitas. Tentu ini akan mendukung daya survival-nya, daya bertahan, yang menurut penemu teori evolusi, Charles Darwin, hanya orang-orang yang survive sajalah yang bisa hidup dengan nyaman di dunia ini.
Dari belajar menawarkan jualan kepada teman itulah, putra-putri Anda juga mendapat pengalaman bagaimana cara menjadi “pemenang”, yakni bila jualannya laku. Tentu dia harus belajar meyakinkan orang lain, dalam hal ini teman-temannya, agar mau membeli produknya. Bahkan cara ini bisa dimodifikasi dengan mengajak teman-teman si kecil untuk memberikan donasi, atau bahkan penjualan berantai dengan tujuan donasi. Hebat bukan? Wah, putra-putri Anda bahkan belajar mempengaruhi pendapat dan tindakan orang lain demi tujuan mulia.
Dari interaksi sosial ini pula, si anak akan belajar mengenai dirinya sendiri. Siapakah dia sebenarnya, sekuat apakah dia, apa saja kelemahannya, serta di lingkungan mana sajakah dia dapat diterima atau ditolak? Dengan mengenal diri, rasa percaya diri putra-putri Anda akan tumbuh, di mana faktor percaya diri ini pulalah yang menentukan sukses tidaknya seseorang dalam kehidupannya, demikian menurut Herbert Mead dan Blummer, pengungkap teori Interaksionisme Simbolik asal Amerika.
Nah, pelajaran ini masih terus berlanjut. Ketika empati si anak sudah tumbuh, anak takkan sayang mendermakan hasil kerja kerasnya demi kebahagiaan si miskin. Bawalah putra-putri Anda mengantarkan hasil karyanya kepada si miskin, menyerahkannya dengan tangan mungilnya sendiri, Anda hanya pendamping baginya di saat itu.
Bila perlu, suruhlah dia bercerita kepada si penerima bantuan, bahwa hadiah tersebut didapat dari hasil “perjuangannya” berjualan, atau bahkan ditambah dengan donasi dari berbagai pihak. Siapa tahu cerita si kecil justru menggugah kesadaran si miskin untuk lebih keras berusaha agar segera terlepas dari belenggu kemiskinannya, menyentuh bukan?
Lalu bagaimana bila si kecil justru tidak bersimpati, apalagi berempati kepada si miskin? Sebaliknya, malah timbul rasa takut menjadi miskin, takut menderita seperti si miskin dan kegamangan serupa lainnya? Jangan khawatir. Narasi atau penjelasan Anda tentang apa yang telah dia saksikan, dapat mengarahkan pemikiran si kecil kepada tujuan Anda. Kalaupun sulit mengubahnya menjadi empati, maka arahkan rasa takut miskin itu menjadi semangat yang melecutnya menjadi perkasa.
Dengan ketakutannya menjadi miskin seperti si miskin, gugah kemampuan survival-nya untuk berjuang menjadi lebih baik. Misalnya dengan belajar lebih keras agar menjadi pintar, disiplin lebih baik agar tak ada waktu yang terbuang, menambah keterampilan dirinya (bisa berdasar hobinya) agar memiliki keahlian, dan sebagainya. Dengan demikian, rasa percaya diri terhadap kemampuannya untuk dapat bertahan di dunia yang keras ini akan timbul.
Lalu, bagaimana peran ajaran agama dalam hal menumbuhkan mental kaya sejak dini? Jelas, Islam telah mengajarkan banyak hal tentang pentingnya berusaha sekeras mungkin untuk sukses di dunia dan akhirat sekaligus. Guna kepentingan hidup di dunia, manusia diajarkan untuk berbisnis jasa atau benda, tentu dengan standar baku yakni keadilan, kejujuran, dan kerja keras.
Rasulullah Muhammad Saw telah menyontohkannya kepada kita. Sejak kecil dia sudah belajar berdagang dengan mengikuti pamannya ke negeri yang jauh dari tempatnya lahir dan dibesarkan. Tak heran, begitu remaja, beliau dipercaya memimpin sebuah korporasi besar, kafilah dagang ternama milik Khadijah Binti Khuwailid, wanita yang kemudian dipersuntingnya.
Tak lama sesudahnya, Rasulullah bahkan menanggung (mengadopsi) sepupunya, Ali Bin Abi Thalib, untuk dididik dan dibiayai dari tangan beliau. Sejarah ini menginspirasi kita bahwa memberi beban tertentu kepada anak untuk “menghidupi” orang lain, akan membuatnya memiliki tanggungjawab yang lebih besar. Dalam konteks saat ini, membiasakan putra-putri Anda untuk berdonasi secara reguler di lembaga tertentu, dapat membentuknya memiliki jiwa bertanggungjawab.
Faktor tanggungjawab merupakan penyokong terpenting timbulnya rasa percaya diri, kemauan berusaha keras, kejujuran, keadilan, dan kepiawaian bertransaksi. Bukankah hal ini pula yang menjadi dasar terbentuknya pribadi yang sukses, pribadi yang bermental kaya?
Comments :
Posting Komentar