Pesta Kecil

Oleh: Ulfatun Ni’mah
(Cerpenis, Redaktur Majalah Mahasiswa ARENA UIN Sunan Kalijaga)


“Bu, kenapa kita jadi orang miskin? apa karena kita nasibnya begini, atau karena apa bu?” Ujar anakku, Ifa, suatu waktu ketika malam membenam dalam larut dan dingin hujan di bulan Oktober.

Suara anakku terus membuat ngilu hatiku, akupun hanya tercenung mendengar penuturannya. Tutur yang selalu di ulanginya hampir sepanjang hari-harinya, sepanjang waktu ketika wadag dunia antara kemiskinan dan dunia kaya yang mewah menyergap imajinya dalam sebuah bayang kelam.

Aku sendiri tak tahu jawabanya, percuma saja segala usahaku untuk memberikan jawaban yang hanya akan jadi ilusi malam bagi dirinya yang kanak-kanak. Aku, walau aku sudah bekerja keras tetap saja selalu kekurangan.

“Ifa, ayo tidur, besok kan harus sekolah, nanti kesiangan,” bujukku lembut.

Dalam batinku, yang kuinginkan, setelah ia tidur semua tanyanya hilang menguap begitu saja seperti angin. Kulihat di wajahnya ketidakpuasan, tatapan mata yang menggugat, tapi juga menyerah pada diamku. Tapi sesaat aku berjalan, suaranya kembali.

“Ibu, ayolah jawab sedikit saja, nanti aku penasaran, andaikan aku mati aku pasti akan tanyai ibu terus, menghantuimu, bu…’’, anakku merajuk, aku yang ganti diam.

“Ifa, besok pasti ibu akan jawab semua pertanyaanmu.” Ujarku.

Sekuat tenaga aku berusaha meyakinkannya, kuelus kepalanya, kuajak ia berangkat tidur. Aku memang selalu diam jika ditanya tentang hal-hal yang seperti ini, karena diam menurutku adalah langkah terbaik, dan kuyakin suatu saat anakku tahu jawabannya, semua ini takdir atau ulahku yang tak berdaya atau memang ada yang sengaja membuat orang yang sengsara makin sengsara. Entahlah, pertanyaanku membenam dalam dingin malam itu.

******

Pagi hari aku terbangun lebih awal seperti hari yang biasa. Masih sempat kulihat wajah Ifa lelap dalam mimpi. Di luar rupanya hujan masih menyisakan gerimis dan kedinginannya, ayam jago yang biasa seperti tiada hidup, tiada kokoknya.

Aku ke ruang bale mencari suamiku. Semalam ia tak pulang, nonton wayang di desa tetangga, maka seperti biasanya ia akan tertidur di dipan bambu di ruang tamu. Kadang-kadang dengan mulut yang menyengat bau arak murahan.

Niatku, mau membangunkannya untuk shalat subuh. Yah, keyakinanku, jika masih dapat ia shalat, masih lebih mungkin mengharapkannya untuk kembali pada jalan yang lebih tepat. Berhenti mabuk dan main judi yang tak juga membuatnya menjadi kaya.

Selangkah dua langkah, tapi tak kudengar dengkurnya yang biasa. Semakin dekat semakin lengang. Kehampaan saja menyelinap di antara dingin yang menerobos lewat dinding bambu rumah kami. Apakah ia ke mushalla sebelah? Barangkali ia sudah tobat, dapat pikiran lurus semalam dari Tuhan.

Tapi konyolnya semua pikiran baikku. Kesetiaan bahkan pada pikiranku, seperti biasanya hanya terbalas oleh kekecewaan, yang, bagaimanapun kusesalkan hanya dapat kutanggung sendirian.

“I’m sorry.”

Sobekan-sobekan kertas semua berisi kalimat yang sama. Kupangggil-panggil lagi, suamiku sudah tak ada di bale. Aku berlari ke kamar di sebalah dapur tempat ia juga terkadang tidur bila kami sedang bertengkar.

Kubuka pintu yang hanya dari kain jarit tinggalan nenekku, tak ada siapa-siapa. Kubuka lemari, kosong. Ternyata kepergiannya sudah direncana karena baju-bajunya sudah kosong. Lalu kubuka kotak perhiasan perkawinan kami, semuanya pun sudah ludes. Ternyata aku yang bodoh, tak bisa melihat tanda-tanda kebejatan suamiku. Aku tak habis pikir, kenapa semua laki-laki yang kukenal dan kutahu kelakuannya, sama saja; selalu mengkhianati wanita, seperti teralami juga ibuku, tragis bukan?

Aku juga tak tahu ini karma atau bukan, menjadi tanya dalam hatiku dalam jaga ataukah tidaknya. Apa memang hari ini semua kelakuannya bobrok?

“Oalah Gusthi, Gusthi….?”

Kepalaku ngilu, sakit hatiku rasanya. Lalu kupandang anakku yang mulai berkembang, lelahku masih hinggap, tapi ini benar-benar tak bolah menimpa anak semata wayangku.

“Ibu, hari ini masak apa? anakku dari kejauhan berbinar-binar berharap pagi ini akan menemukan masakan-masakanku di atas meja. Aku mencoba tersenyum. Tapi, kemudian ia diam, sebagai ibu aku mengerti, dan aku rasa jiwaku semakin rusuh.

”Ifa, sabar dulu ya, ibu ini mau selesai nyuci baju Bu Ita, nanti kita beli makanannya setelah itu ya. Ifa tidak terlau lapar, bukan?” ujarku. Ia mengangguk, tertunduk.

“Sabar ya anakku,” keluhku, yang hanya mampu kukatakan dalam hati.” Ifa main dulu di tempat adit ya?’, itu yang mampu kukatakan pada anakku.

Kupercepat kerjaku, aku tahu anakku pasti sudah sangat lapar. Setelah selesai mencuci, aku cepat-cepat memanggil anakku.

”Ifa ayo kita ke tempat Bu Ita, “ suaraku lembut.

Hari ini aku dapat uang 30.000, lumayan untuk makan kami, pikirku.

“Ifa, kita mampir ke tempat Mang Ujang dulu ya, buat beli makan, perutnya kan udah bunyi tadi?” anakku tersenyum mengangguk, matanya kembali berbinar.

Sebenarnya setiap kali aku melihat anakku, aku tak tega melihatnya harus menahan lapar tiap kali suara-suara di perutnya berbunyi, mengalun memberi tanda. Tapi bagaimanapun aku telah berusaha, untuk membahagiakannya, dan ia cukup tahu itu, begitu juga Tuhan, pastilah tahu bahwa bagaimana pun ini tampak rumit, aku sudah berusaha.

Pesta kecil kami selesai. Setelah selesai membeli makanan, kuajaknya keliling mengambil cucian untuk besok.

Saat kami sedang berjalan pulang, kami melewati sebuah sekolah megah untuk ukuran sekolah tingkat lanjut, bangunannya besar. Cepat-cepat kulangkahkan kakiku, biar anakku tak melihatnya, karena malam-malam sebelumnya ia sebelum tidur selalu bercerita padaku tentang keinginannya sekolah lanjut, sekolah yang dipikirnya mampu menjamin hidup di masa depan. Aku hanya mendiamkan saja. Tapi tetap saja, mimpinya keluar lagi, memang manusiawi untuk anak seusianya, tapi impiannya hanya jadi barang mahal yang membuatku sedih.

”Bu, Ifa besok bisa sekolah di sana tidak ya?” ujar Ifa sambil tangannya menunjuk sekolah itu. Aku diam, memang aku tak punya pilihan jawaban untuk aku katakan.

Tak lama kemudian, suara kembali tak bersemangat, ngilu aku mendengarnya,” nggak mungkin paling ya bu, buat makan aja nggak mesti ada, apalagi sekolah itu megah, pagarnya aja tinggi, paling yang bisa sekolah di sana yang rumahnya bagus.

”Bu lihat itu ada mobil mewah keluar dari gerbang, ayo bu cepat kita ke sana buat tengok sekolah di dalamnya seperti apa? mumpung pintunya dibuka bu, ayo cepat bu…”

Anakku lari cepat cepat, tak sabar, takut gerbangnya ditutup, takut tak mampu sekadar mengintipnya saja. Tangannya menarik tanganku, diseret-seretnya aku, aku pun menurut padanya, biar mimpinya hidup lagi, harapku.

Namun jauh dalam hatiku, aku cemas, takut-takut nanti pintu gerbangnya tertutup saat langkah kami tinggal selangkah. Tapi tetap saja aku berjalan ke arahnya bersama, tiba-tiba seperti pikirku, saat kami sudah dekat, tinggal selangkah antara kaki kami yang lelah dan gerbang itu, gerbang besi yang melebihi tinggi tubuhku itu tertutup perlahan-lahan. Seperti sayatan yang mengiris hatiku, dengan perlahan-lahan. Wajah anakku memerah, air matanya langsung meleleh keluar, bersama isaknya yang ditahan. Aku pilu melihatnya, dan aku hanya dapat menghiburnya dengan sesuatu yang kupikir sendiri sebagai omong kosongku saja.

”Ifa, besok kalau waktunya tiba, pasti Ifa bisa sekolah di sana, pasti ibu dapat rezeki besok buat nyekolahin ifa, ayo kita pulang.”

Kuajaknya berdiri, kupegang erat tanganya, tangisnya mereda, hanya isaknya saja tersisa. Ia pun mampu tersenyum, khusus untukku. Sambil terbata-bata ia bicara, pertanyaan-pertanyaan meluncur dari mulutnya.

”Ibu, enak ya jadi orang kaya, apa-apanya sudah terjamin, mau apa-apa bisa.” Ujarnya polos.

Aku hanya tersenyum, sedikit pun tak menyalahkannya. Tak lama kemudian, ia kembali bertanya, ”Ibu, aku tak mengerti kenapa sekolah itu dipagar tinggi-tinggi, apa takut ada maling yang mencuri alat tulis di sana ya bu? Atau malah pagar itu begitu tinggi, biar maling yang ada di dalam mencuri uangnya nggak keliatan? makanya gerbang dan semua bangunan ditutup tinggi-tinggi?” ujarnya dengan suara lugu. “Paling juga biar yang diluar nggak bisa lihat. Apalagi teropong kan mahal, biar orang miskin nggak lihat, karena nggak bisa beli teropong, nggak punya alat untuk melihat dari kejauhan….”

Kulihat Ifa tersenyum kecil, entah senyuman yang lugu, atau ia mulai merasa muak pada segala yang tampak padanya, dan mengecewakan hatinya saja. Aku membalas tersenyum padanya, senyuman hambar tanpa arti, dari wadag hatiku yang hanya bisa sangsi dengan esok hari, dengan masa depan anakku.

“Biar semua jadi tanya saja, hinggga besok semua terlihat, suatu saat. Yang penting Tuhan tahu aku sudah berusaha, itu sudah cukup. Ya, berusaha, biar pun dalam sangsi dan ahirnya kalah!”
Bisikku dalam hati sendiri. Dan mataku menatap pada kejauhan, pada senja yang sedang rekah, cerah berwarna keemasan mempelangi. Teringat lagi dalam hati bila suamiku boleh kembali. Kupanjatkan lagi doa baik untuknya, untuk jiwanya yang sumpek dan membuatku sakit. Dan doaku tetap kukirimkan padanya, agar kembali, agar menidurkan kembali Ifa nanti malam.>>>>

Comments :

0 komentar to “Pesta Kecil”

Posting Komentar